Ada tata
cara, ada etika, ada peraturan-peraturan yang harus ditaati dan dijalankan oleh
seorang dokter atau pasien.
Dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter,
terdapat pernyataan: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan.” Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum
dapat ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan,
sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter
Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata
“mulai dari saat pembuahan” hendak dihilangkan atau diubah.

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan
aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue
tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali
tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik
yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang
mengandung nilai-nilai etika.
Mengenai penanganan dokter terhadap pasien yang
bersifat privasi, seperti halnya pada bagian organ tubuh yang vital pada pasien
wanita. Agaknya di Indonesia hal ini tidak begitu diperhatikan, meskipun banyak
kode etik antara dokter dan pasien.
Ada satu adegan unik dan menarik pada film Kadahar
2001 yang berlatar belakang Afganistan di bawah rezim Taliban. Ketika seorang
dokter diminta memeriksa pasien perempuan, mereka dipisahkan tabir gelap.
Dibalik tabir, si perempuan tertutup burka dari ujung rambut ke ujung kaki.
Keduanya tidak berbicara langsung, ada anak laki-laki pasien yang berumur lebih
kurang 6 tahun bertindak sebagai perantara. “ibu sedang sakit perut” kata si
bocah.
“apakah dia memuntahkan lagi makanannya..?” tanya si
dokter.
“apa ibu memuntahkan makanan...?” tanya si bocah
kepada ibunya.
“tidak.” Kata si ibu, jelas-jelas terdengar, tapi si
dokter menunggu, seolah-olah tak mendengar kata-kata wanita itu.
“tidak.” Si bocah memberi tahu dokter.
Untuk pemeriksaan, terdapat lubang berbentuk lingkaran
berdiameter lima sentimeter di tabir. “suruh ibumu mendekat.” Kata dokter. Si
bocah menyampaikan kepada ibunya. Ibunya mendekatkan mulutnnya ke lubang, dan
lewat lubang si dokter memeriksanya. “suruh ibumu mendekatkan matanya ke
lubang” pinta sang dokter. Dan demikian pemeriksaan dilakukan.
Sejauh itu tuntutan kesopanan bisa dilakukan. Entah
apa yang bisa dipahami akan hal ini, mungkin ada yang merasa hal seperti itu
pelecehan kepada pasien, atau merupakan tindakan yang kurang sopan. Namun para
dokter amerika terkejut akan hal ini. Tidak ada etika sebagus ini di amerika.
Mungkin juga tidak ada juga di negara kita.
Pendamping dalam sebuah pemeriksaan antara dokter pria
dengan pasien seorang wanita dirasa sangat perlu, ini mengantisipasi tejadinya
hal-hal yang tidaak diinginkan antara dokter dan pasien.

Hal ini juga terjadi di Venezuela. Bahkan, apabila
tidak tersedia pendamping, atau pasien menolak unutk didampingi, maka
pemeriksaan tidak dilakukan.
Sampai sebegitu hati-hatinnya para dokter dalam
menangani pasien. Ini merupakan kode etik yang perlu diterapkan diseluruh
negara, tak terkecuali indonesia. ini merupakan tindakan prefentif, agar tidak
terjadi hal-hal yang tida diinginkan, baik oleh dokter maupun pasien.
Ada banyak alasan untuk mempertimbangkan mengenai hal
ini. Tercatat sekitar 4% keputusan disipliner yang dikeluarkan oleh badan
kedokteran negara bagian untuk para dokter karena pelanggaran terkait seks.
Satu dari tiap dua ratus dokter pernah dikenai tindakan disipliner karena
pelecehan seksual terhadap pasien. Sebagian kasus tersebut mencakup
tindakan-tindakan keterlaluan, seperti berhubungan seks dengan pasien ketika melakukan
pemeriksaan. Sebagian besar kasus melibatkan dokter laki-laki dan pasien
perempuan, dan ssemuanya terjadi karena tidak adanya pendamping.
Di suatu negara bagian, sekitar sepertiga kasus adalah
berkencan dengan pasien atau menyentuh pasien secara seksual; dua pertiganya
berupa sentuhan atau sikap tak pantas yang bernuansa seksual, tidak sampai
berhubungan seks.
Dengan adanya pendamping bisa membantu dokter jika ada
tuduhan palsu terhadap dokter. Prilaku tak pantas dari pasien mungkin juga bisa
dihindarkan. Penelitian pada 1994 mendapati bahwa 72% mahasiswa kedokteran
mengalami setidaknya satu kali tindakan seksual yang dimulai dari pasien. Dan
12% mahasiswa hanya dipegang-pegang atau digerayangi oleh pasien.
Jadi, apakah dokter laki-laki membuat pasien perempuan
lebih nyaman dalam pemeriksaan dengan menghadirkan pendamping, atau tidak?
Menurut saya, pendamping lebih banyak membantu dari pada merugikan. Namun kita
tak tahu pasti; belum pernah ada yang meneliti tentang hal ini. Dan itu sendiri
merupakan bukti bahwasanya kita menganggap enteng interaksi antar manusia dalam
kedokteran.
Segala hal, dari etiket sampai ekonomi, rasa marah sampai
etika, dapat menyusup dari pertemuan
rutin antara dokter dan pasien. Hubungan dokter dan pasien amatlah
pribadi, menyimpan janji, kepercayaan dan harapan.
Bagaimana bertindak terhadap pasien mungkin kurang jelas,
bahkan tidak jelas. Sediakan pendamping atau tidak? Jika dalam pemeriksaan anda
menemukan tahi lalat dan menganggapny membahayakan, tapi ada opini lain yang tak sepakat, Anda
pertimbangkan lagi diagnosa Anda sendiri atau tidak? Kalau sudah mencoba
beberapa cara dan semuanya gagal, anda teruskan mencoba atau brhenti? Pilihan
tetap harus dijatuhkan. Tidak ada pilihan yang akan selalu benar. Tapi selalu
ada cara-cara membuat pilihan kita semakin baik.
0 komentar:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.