Breaking News
Loading...
Sunday, May 4, 2014

Kode etik Dokter dan Pasien

10:52 AM

Ada tata cara, ada etika, ada peraturan-peraturan yang harus ditaati dan dijalankan oleh seorang dokter atau pasien.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan, sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak dihilangkan atau diubah.
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi gerak.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Mengenai penanganan dokter terhadap pasien yang bersifat privasi, seperti halnya pada bagian organ tubuh yang vital pada pasien wanita. Agaknya di Indonesia hal ini tidak begitu diperhatikan, meskipun banyak kode etik antara dokter dan pasien.
Ada satu adegan unik dan menarik pada film Kadahar 2001 yang berlatar belakang Afganistan di bawah rezim Taliban. Ketika seorang dokter diminta memeriksa pasien perempuan, mereka dipisahkan tabir gelap. Dibalik tabir, si perempuan tertutup burka dari ujung rambut ke ujung kaki. Keduanya tidak berbicara langsung, ada anak laki-laki pasien yang berumur lebih kurang 6 tahun bertindak sebagai perantara. “ibu sedang sakit perut” kata si bocah.
“apakah dia memuntahkan lagi makanannya..?” tanya si dokter.
“apa ibu memuntahkan makanan...?” tanya si bocah kepada ibunya.
“tidak.” Kata si ibu, jelas-jelas terdengar, tapi si dokter menunggu, seolah-olah tak mendengar kata-kata wanita itu.
“tidak.” Si bocah memberi tahu dokter.
Untuk pemeriksaan, terdapat lubang berbentuk lingkaran berdiameter lima sentimeter di tabir. “suruh ibumu mendekat.” Kata dokter. Si bocah menyampaikan kepada ibunya. Ibunya mendekatkan mulutnnya ke lubang, dan lewat lubang si dokter memeriksanya. “suruh ibumu mendekatkan matanya ke lubang” pinta sang dokter. Dan demikian pemeriksaan dilakukan.
Sejauh itu tuntutan kesopanan bisa dilakukan. Entah apa yang bisa dipahami akan hal ini, mungkin ada yang merasa hal seperti itu pelecehan kepada pasien, atau merupakan tindakan yang kurang sopan. Namun para dokter amerika terkejut akan hal ini. Tidak ada etika sebagus ini di amerika. Mungkin juga tidak ada juga di negara kita.
Pendamping dalam sebuah pemeriksaan antara dokter pria dengan pasien seorang wanita dirasa sangat perlu, ini mengantisipasi tejadinya hal-hal yang tidaak diinginkan antara dokter dan pasien.
Di Irak dokter dan pasien lawan jenis tidak boleh berdua-duaan saja tanpa ada yang mendampingi. Perawat jarang diminta jadi pendamping apabila dokter dan pasiennya sejenis. Namun, jika dokter dan pasien lawan jenis, maka haarus ada anggota keluarga pasien yang hadir untuk memastikan bahwa tidak terjadi hal apapun yang tak pantas.
Hal ini juga terjadi di Venezuela. Bahkan, apabila tidak tersedia pendamping, atau pasien menolak unutk didampingi, maka pemeriksaan tidak dilakukan.
Sampai sebegitu hati-hatinnya para dokter dalam menangani pasien. Ini merupakan kode etik yang perlu diterapkan diseluruh negara, tak terkecuali indonesia. ini merupakan tindakan prefentif, agar tidak terjadi hal-hal yang tida diinginkan, baik oleh dokter maupun pasien.
Ada banyak alasan untuk mempertimbangkan mengenai hal ini. Tercatat sekitar 4% keputusan disipliner yang dikeluarkan oleh badan kedokteran negara bagian untuk para dokter karena pelanggaran terkait seks. Satu dari tiap dua ratus dokter pernah dikenai tindakan disipliner karena pelecehan seksual terhadap pasien. Sebagian kasus tersebut mencakup tindakan-tindakan keterlaluan, seperti berhubungan seks dengan pasien ketika melakukan pemeriksaan. Sebagian besar kasus melibatkan dokter laki-laki dan pasien perempuan, dan ssemuanya terjadi karena tidak adanya pendamping.
Di suatu negara bagian, sekitar sepertiga kasus adalah berkencan dengan pasien atau menyentuh pasien secara seksual; dua pertiganya berupa sentuhan atau sikap tak pantas yang bernuansa seksual, tidak sampai berhubungan seks.
Dengan adanya pendamping bisa membantu dokter jika ada tuduhan palsu terhadap dokter. Prilaku tak pantas dari pasien mungkin juga bisa dihindarkan. Penelitian pada 1994 mendapati bahwa 72% mahasiswa kedokteran mengalami setidaknya satu kali tindakan seksual yang dimulai dari pasien. Dan 12% mahasiswa hanya dipegang-pegang atau digerayangi oleh pasien.
Jadi, apakah dokter laki-laki membuat pasien perempuan lebih nyaman dalam pemeriksaan dengan menghadirkan pendamping, atau tidak? Menurut saya, pendamping lebih banyak membantu dari pada merugikan. Namun kita tak tahu pasti; belum pernah ada yang meneliti tentang hal ini. Dan itu sendiri merupakan bukti bahwasanya kita menganggap enteng interaksi antar manusia dalam kedokteran.
Segala hal, dari etiket sampai ekonomi, rasa marah sampai etika, dapat menyusup dari pertemuan  rutin antara dokter dan pasien. Hubungan dokter dan pasien amatlah pribadi, menyimpan janji, kepercayaan dan harapan.

Bagaimana bertindak terhadap pasien mungkin kurang jelas, bahkan tidak jelas. Sediakan pendamping atau tidak? Jika dalam pemeriksaan anda menemukan tahi lalat dan menganggapny membahayakan, tapi ada  opini lain yang tak sepakat, Anda pertimbangkan lagi diagnosa Anda sendiri atau tidak? Kalau sudah mencoba beberapa cara dan semuanya gagal, anda teruskan mencoba atau brhenti? Pilihan tetap harus dijatuhkan. Tidak ada pilihan yang akan selalu benar. Tapi selalu ada cara-cara membuat pilihan kita semakin baik.

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer