Aku, bumi yang gersang, bumi yang kering, bumi yang
basah karena air mata. Aku, bumi yang layu, bumi yang sepi, bumi yang sedih,
sendiri dalam kesepian. Lama aku menanti siapa yang mau menemaniku dikala
gersang, kering, basah, layu, dan sedih dikesendirianku.
Aku butuh teman, oh,
salah, lebih tepatnya pasangan, yang rela dan setia menemaniku hingga senja di
akhir hayatku. Lagi-lagi soal cinta, membuatku tersesat dalam dilemma,
Haha, memang cinta itu indah, tapi menghalangi keindahan kadang cinta juga membingungkan
, membuat hatiku tersesat dibanyak tempat! Mencintaimu tanpa tahu apakah dirimu
mencintaiku atau tidak, setiap hari aku memikirkannya tanpa tahu apakah dia
memikirkanku, dan aku sangat berharap kau juga punya pikiran yang sama
denganku, ketika berdekatan denganmu hati ini rasanya berdegup kencang sekali
bagai lari 1000km/jam. Cinta bisa mendatangkan kesedihan dan kebahagiaan, aku
akan merasa bahagia jika orang yang aku cintai memberikan respon kepadaku,
memberikan perhatiannya, minimal disapa lah. Ah, mungkin aku terlalu berharap,
bagaimana jika cinta itu benar-benar membuatku dilema? Hahaha, lagi-lagi cinta
membuatku gila.
Malam ini aku kembali
meneteskan air mata, mendung petang ini tak semendung hatiku, mungkin kau tahu
rasanya bagaimana menjadi pencinta, dimana dia yang kita cintai tak pernah tahu
perasaan kita kepadanya. “Bintang! Malam ini aku kembali menunggumu.” Aku
berucap lirih, sepertinya malam ini dia benar-benar tak akan keluar, dadaku
kembali sesak sedihku kembali membeludak.
Aku tak putus asa,
aku kembali mencoba menemuinya dimalam-malam lainya. Satu dua malam pun
terlewati begitu saja. Dan malam ini, untuk kesekian kalinya aku bertemu
denganya setelah lama mendung membumi cinta. “Inilah waktunya, aku harus berani
mengungkapkanya.” Ucapku dalam hati. Hatiku berdegup kencang sekali, kringat
ini terus luluh tak terkendali, aku menjadi kaku, rasanya bercampur aduk antara
takut, gugup, khawatir, resah, gelisah, dan ragu yang bercampur rindu.
“Bintang!”. Ucapku
mengawali pembicaraan.
“Hm…” balasnya sambil
menoleh ke arahku, hatiku semakin berdegup kencang tak beraturan.
“Apa yang akan kamu
lakukan apabila ada yang mengungkapkan cintanya padamu…?”
“Jika aku memang
mencintainya aku akan bilang cinta kepadanya, namun apabila aku tidak
mencintainya aku akan berkata jujur bahwa aku tidak mencintainya. Aku tak mau
membuatnya terluka, aku juga tak mau membuatnya dilema, aku akan berkata jujur
apa adanya.” Ucapnya bijak.
“Jika yang mencintaimu
itu aku….?” Ucapku tak menoleh kepadanya.
“Maksudmu…?” Tanyanya spontan.
“Aku mencintaimu, dan
itu sudah dari dulu. Aku ingin dirimu menghiasi dalam gelap malam-malamku.”
Ucapku terus terang.
“Maaf bukanya aku
tak mencintaimu, namun dalam tubuhmu telah terjadi banyak kerusakan,
korupsi, nepotisme, neoliberalisme, dan masih ada banyak lagi penyakit yang
telah mendarah daging dalam tubuhmu, aku takut itu. keadilan sudah hilang dari
dalamnya, entah masihkah ada obat untuk menyembuhkannya. Kau terlalu rusak
parah, aku tak mau terjerumus dalam telaga darah dan nanah.”
“Jadi kau
menolakkku…?” Tanyaku dengan sedikit kecewa.
“Maaf, bukanya aku
menolakmu, namun carilah yang lain selain diriku.”
Ini pertama kalinya
aku mengungkapkan cinta, dan aku mendapat jawaban yang tidak pernah aku
inginkan sebelumnya. Tubuhku memang telah rusak parah, dijamah manusia-manusia
hina yang tak amanah, tikus-tikus bengis bagaikan babi, mereka semua telah
kehilangan hati, yang kaya semakin berkuasa yang miskin semakin kerdil, matanya
telah buta tak tahu lagi jalan menuju surga.
Aku kembali dengan tangan
hampa, aku kembali menjalani kehidupan yang penuh sara, “Bingtang, mungkin kita
diciptakan hanya untuk dipertemukan, tidak untuk saling memiliki. Aku akan
benar-benar melupakanmu.”
Aku benar-benar
kesepian, aku masih berputar, memandang, mengelilingi kanan dan kiri. Dari
kejauhan aku melihat dia, yang putih, kecil, menarik hatiku. Oh, Pluto, aku
ingin bersamamu, memelukmu, menjadikanmu pendamping hidupku.
Aku mulai berlari,
mengulurkan tanganku namun tak kurasa, dia terlalu jauh, tak mampu aku
menggapainya. Tanganku terlalu jauh meninggalkan ragaku, terasa dingin dan
semakin dingin, tanganku membeku, ternyata pluto sangat dingin sedingin salju.
Aku mengurungkan niatku, aku tak mau menjadikan Pluto sebagai pasanganku. aku
kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, melupakan Pluto mencari yang baru.
Neptunus, dia
melambai-lambaikan tanganya, mengajakku berdansa bermain bersama. Aku mulai
melangkahkan kakiku, mengulurkan tanganku dan menggapainya. Neptunuspun terasa
dingin, namun tak sedingin Pluto. Aku kedinginan, ucapku kepada Neptunus, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, dia langsung mendekapku, dadaku sesak, aku tak mampu
bernafas, kurasa Neptunus terlalu besar bagiku. Aku berontak, namun ia tetap
mendekapku, aku terus berontak dan akhirnya lepas dari dekapannya, aku berlari
menjauhinya, aku tak bisa bila terus bersamanya.
Neptunus marah,
wajahnya mulai memerah, dia mengamuk. Neptunus memanggil teman-temannya, Mars,
Yupiter, Saturnus, Uranus, aku minta bantuanmu, tolong tangkap bumi yang kecil
itu. Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus berlari keluar dari orbitnya, mereka
mengejarku. Ku amati satu persatu dari mereka, yupiter, saturnus, Uranus,
mereka terlihat besar, badanya kekar, ketiganya mengerubungiku, aku mati kutu,
aku tak bisa bergerak, aku tak bisa kemana-mana.
Saturnus terlihat
cantik dengan cincin yang ada di jari manisnya, aku ingin memilikinya, namun
ternyata dia lebih besar dari yang ku kira. Pandanganku ku alihkan ke wajah
yupiter, “apa ini yang dinamakan raksasa” aku berkata dalam hati. Yupiter
terlihat anggun, namun badanya terlalu besar, enntah berapa kali lipat dari
besar tubuhku.
Setelah ku amati
satu-persatu, mereka berganti memandangiku, “pada hitungan ketiga, kita tangkap
bumi kecil ini” yupiter memberi intruksi kepada saturnus dan Uranus. “satu, dua,
tiga,” pada hutungan ketiga mereka yang telah mengerubungiku semuanya meloncat
menangkapku. Aku merunduk semakin kecil dan kecil, aku menyusup merayap ke
celah-celah kedua kaki mereka, akhirnya aku lolos. Mereka semua menoleh
memandangku, badan mereka terlalu besar hingga sulit untuk bangun dan
mengejarku.
Aku mekloncat-loncat
kegirangan, aku terus berlari, namun langkah kakiku terhenti ketika melihat
sosok berwajah merah menyala. Aku takut, dia pasti suka marah, itu bisa kulihat
dari wajahnya yang merah. “mars, tangkap dia” teriak Jupiter dari kejauhan.
Ternyata yang wajahnya merah padam adalah mars, dia tidak terlaulu besar, malah
dia lebih kecil dariku, namun aku takut, wajahnya sangat merah sepertinya dia
adalah dewa perang yang selalu mengeluarkan amarah.
Aku lari ketakutan,
mars mengikutiku dari arah belakang, dia membawa tombak, ya, mars memang
dewa perang bersenjata lengkap dengan muka garang. Aku berlari di tepi-tepi
jurang, aku semakin cepat, dia pun juga semakin cepat, wajahnya semakin
memerah, dia kelihatan seperti orang yang sedang naik darah. Wajahnya memerah,
dan semakin merah, dia terlalu marah hingga kepalanya terasa mau pecah,
dia tidak tahan dengan rasa sakit di kepalanya. Kedua tanganya memegangi
kepalanya yang sudah terlihat mengeluarkan asap. Dia berlari dengan gontai, dia
kehilangan keseimbangan akhirnya terjatuh dalam jurang yang curam.
Aku bebas, namun aku
belum mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku masih mencari, dari kejauhan
terlihat cahaya yang terang, sepertinya akan tenang bila aku ada di sana dan
duduk bersama dengannnya. Matahari, ya, aku memandangnya dengan jelas, rasa
panasnya, dan aku mengagumi warna oranye yang menyala-nyala. Namun dari
kejauhan kulihat di sebelahnya terdapat termometer, berisi logam cair yang
dipakai untuk mengukur temperature mercury (mercurius) .
matahari terlihat
menyala, menjadi panas dan lebih panas, akhirnya menjadi sedemikian panas
sehingga termometernya meledak. Aku melihat bola” kecil dari logam cair mercury(air raksa) itu berserakan dimeja di lantai dan
di depanku. tiba-tiba pintu terbuka dan ada dewi kecil yang paling cantik
bergegas masuk ruangan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, dia berdiri di
sebelahku, dia harum dan wangi, posturnya ideal sama persis dengan apa yang aku
inginkan.
“Ada apa
ini…..?” dia bertanya, dan aku hanya bisa diam saja sambil mengamati
kesempurnaan dirinya.
“Perkenalkan aku
Venus, kamu siapa….?” Belum sempat aku menjawabnya Dia kembali melempar
pertanyaan kepadaku. Aku menjadi kaku, aku gugup. Aku menggapai tangannya,
“Lembut….” Ucapku dalam hati. “Aku bumi.” jawabku tanpa reaksi. Setelah itu aku
ceritakan semuanya kepadanya tentang apa yang telah terjadi padaku selama
ini. Mendengar ceritaku dia meneteskan air mata dan dengan ikhlas dia berkata,
“aku mau menjadi pendampingmu sampai senja di akhir hayatmu.”
Mendengar kata-kata
itu aku pingsan, aku tak ingat apa-apa, setelah sadar ya ng ada hanyalah Venus,
dewi kecil yang menemaniku sampai senja akhir hayatku. Dia setia, dia yang ku
cari dan ku impi-impikan selama ini.
0 komentar:
Post a Comment