Breaking News
Loading...
Tuesday, July 30, 2013

Bumi Mencari Cinta

4:32 AM

Aku, bumi yang gersang, bumi yang kering, bumi yang basah karena air mata. Aku, bumi yang layu, bumi yang sepi, bumi yang sedih, sendiri dalam kesepian. Lama aku menanti siapa yang mau menemaniku dikala gersang, kering, basah, layu, dan sedih dikesendirianku.
Aku butuh teman, oh, salah, lebih tepatnya pasangan, yang rela dan setia menemaniku hingga senja di akhir hayatku. Lagi-lagi soal cinta, membuatku tersesat dalam dilemma, Haha, memang cinta itu indah, tapi menghalangi keindahan kadang cinta juga membingungkan , membuat hatiku tersesat dibanyak tempat! Mencintaimu tanpa tahu apakah dirimu mencintaiku atau tidak, setiap hari aku memikirkannya tanpa tahu apakah dia memikirkanku, dan aku sangat berharap kau juga punya pikiran yang sama denganku, ketika berdekatan denganmu hati ini rasanya berdegup kencang sekali bagai lari 1000km/jam. Cinta bisa mendatangkan kesedihan dan kebahagiaan, aku akan merasa bahagia jika orang yang aku cintai memberikan respon kepadaku, memberikan perhatiannya, minimal disapa lah. Ah, mungkin aku terlalu berharap, bagaimana jika cinta itu benar-benar membuatku dilema? Hahaha, lagi-lagi cinta membuatku gila.
Malam ini aku kembali meneteskan air mata, mendung petang ini tak semendung hatiku, mungkin kau tahu rasanya bagaimana menjadi pencinta, dimana dia yang kita cintai tak pernah tahu perasaan kita kepadanya. “Bintang! Malam ini aku kembali menunggumu.” Aku berucap lirih, sepertinya malam ini dia benar-benar tak akan keluar, dadaku kembali sesak sedihku kembali membeludak.
Aku tak putus asa, aku kembali mencoba menemuinya dimalam-malam lainya. Satu dua malam pun terlewati begitu saja. Dan malam ini, untuk kesekian kalinya aku bertemu denganya setelah lama mendung membumi cinta. “Inilah waktunya, aku harus berani mengungkapkanya.” Ucapku dalam hati. Hatiku berdegup kencang sekali, kringat ini terus luluh tak terkendali, aku menjadi kaku, rasanya bercampur aduk antara takut, gugup, khawatir, resah, gelisah, dan ragu yang bercampur rindu.
“Bintang!”. Ucapku mengawali pembicaraan.
“Hm…” balasnya sambil menoleh ke arahku, hatiku semakin berdegup kencang tak beraturan.
“Apa yang akan kamu lakukan apabila ada yang mengungkapkan cintanya padamu…?”
“Jika aku memang mencintainya aku akan bilang cinta kepadanya, namun apabila aku tidak mencintainya aku akan berkata jujur bahwa aku tidak mencintainya. Aku tak mau membuatnya terluka, aku juga tak mau membuatnya dilema, aku akan berkata jujur apa adanya.” Ucapnya bijak.
“Jika yang mencintaimu itu aku….?” Ucapku tak menoleh kepadanya.
“Maksudmu…?” Tanyanya spontan.
“Aku mencintaimu, dan itu sudah dari dulu. Aku ingin dirimu menghiasi dalam gelap malam-malamku.” Ucapku terus terang.
“Maaf bukanya aku tak mencintaimu, namun dalam tubuhmu telah terjadi banyak kerusakan, korupsi, nepotisme, neoliberalisme, dan masih ada banyak lagi penyakit yang telah mendarah daging dalam tubuhmu, aku takut itu. keadilan sudah hilang dari dalamnya, entah masihkah ada obat untuk menyembuhkannya. Kau terlalu rusak parah, aku tak mau terjerumus dalam telaga darah dan nanah.”
“Jadi kau menolakkku…?” Tanyaku dengan sedikit kecewa.
“Maaf, bukanya aku menolakmu, namun carilah yang lain selain diriku.”
Ini pertama kalinya aku mengungkapkan cinta, dan aku mendapat jawaban yang tidak pernah aku inginkan sebelumnya. Tubuhku memang telah rusak parah, dijamah manusia-manusia hina yang tak amanah, tikus-tikus bengis bagaikan babi, mereka semua telah kehilangan hati, yang kaya semakin berkuasa yang miskin semakin kerdil, matanya telah buta tak tahu lagi jalan menuju surga.
Aku kembali dengan tangan hampa, aku kembali menjalani kehidupan yang penuh sara, “Bingtang, mungkin kita diciptakan hanya untuk dipertemukan, tidak untuk saling memiliki. Aku akan benar-benar melupakanmu.”
Aku benar-benar kesepian, aku masih berputar, memandang, mengelilingi kanan dan kiri. Dari kejauhan aku melihat dia, yang putih, kecil, menarik hatiku. Oh, Pluto, aku ingin bersamamu, memelukmu, menjadikanmu pendamping hidupku.
Aku mulai berlari, mengulurkan tanganku namun tak kurasa, dia terlalu jauh, tak mampu aku menggapainya. Tanganku terlalu jauh meninggalkan ragaku, terasa dingin dan semakin dingin, tanganku membeku, ternyata pluto sangat dingin sedingin salju. Aku mengurungkan niatku, aku tak mau menjadikan Pluto sebagai pasanganku. aku kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, melupakan Pluto mencari yang baru.
Neptunus, dia melambai-lambaikan tanganya, mengajakku berdansa bermain bersama. Aku mulai melangkahkan kakiku, mengulurkan tanganku dan menggapainya. Neptunuspun terasa dingin, namun tak sedingin Pluto. Aku kedinginan, ucapku kepada Neptunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dia langsung mendekapku, dadaku sesak, aku tak mampu bernafas, kurasa Neptunus terlalu besar bagiku. Aku berontak, namun ia tetap mendekapku, aku terus berontak dan akhirnya lepas dari dekapannya, aku berlari menjauhinya, aku tak bisa bila terus bersamanya.
Neptunus marah, wajahnya mulai memerah, dia mengamuk. Neptunus memanggil teman-temannya, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, aku minta bantuanmu, tolong tangkap bumi yang kecil itu. Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus berlari keluar dari orbitnya, mereka mengejarku. Ku amati satu persatu dari mereka, yupiter, saturnus, Uranus, mereka terlihat besar, badanya kekar, ketiganya mengerubungiku, aku mati kutu, aku tak bisa bergerak, aku tak bisa kemana-mana.
Saturnus terlihat cantik dengan cincin yang ada di jari manisnya, aku ingin memilikinya, namun ternyata dia lebih besar dari yang ku kira. Pandanganku ku alihkan ke wajah yupiter, “apa ini yang dinamakan raksasa” aku berkata dalam hati. Yupiter terlihat anggun, namun badanya terlalu besar, enntah berapa kali lipat dari besar tubuhku.
Setelah ku amati satu-persatu, mereka berganti memandangiku, “pada hitungan ketiga, kita tangkap bumi kecil ini” yupiter memberi intruksi kepada saturnus dan Uranus. “satu, dua, tiga,” pada hutungan ketiga mereka yang telah mengerubungiku semuanya meloncat menangkapku. Aku merunduk semakin kecil dan kecil, aku menyusup merayap ke celah-celah kedua kaki mereka, akhirnya aku lolos. Mereka semua menoleh memandangku, badan mereka terlalu besar hingga sulit untuk bangun dan mengejarku.
Aku mekloncat-loncat kegirangan, aku terus berlari, namun langkah kakiku terhenti ketika melihat sosok berwajah merah menyala. Aku takut, dia pasti suka marah, itu bisa kulihat dari wajahnya yang merah. “mars, tangkap dia” teriak Jupiter dari kejauhan. Ternyata yang wajahnya merah padam adalah mars, dia tidak terlaulu besar, malah dia lebih kecil dariku, namun aku takut, wajahnya sangat merah sepertinya dia adalah dewa perang yang selalu mengeluarkan amarah.
Aku lari ketakutan, mars mengikutiku dari arah belakang, dia membawa tombak, ya, mars memang dewa perang bersenjata lengkap dengan muka garang. Aku berlari di tepi-tepi jurang, aku semakin cepat, dia pun juga semakin cepat, wajahnya semakin memerah, dia kelihatan seperti orang yang sedang naik darah. Wajahnya memerah, dan semakin  merah, dia terlalu marah hingga kepalanya terasa mau pecah, dia tidak tahan dengan rasa sakit di kepalanya. Kedua tanganya memegangi kepalanya yang sudah terlihat mengeluarkan asap. Dia berlari dengan gontai, dia kehilangan keseimbangan akhirnya terjatuh dalam jurang yang curam.
Aku bebas, namun aku belum mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku masih mencari, dari kejauhan terlihat cahaya yang terang, sepertinya akan tenang bila aku ada di sana dan duduk bersama dengannnya. Matahari, ya, aku memandangnya dengan jelas, rasa panasnya, dan aku mengagumi warna oranye yang menyala-nyala. Namun dari kejauhan kulihat di sebelahnya terdapat termometer, berisi logam cair yang dipakai untuk mengukur temperature mercury (mercurius) .
matahari terlihat menyala, menjadi panas dan lebih panas, akhirnya menjadi sedemikian panas sehingga termometernya meledak. Aku melihat bola” kecil dari logam cair mercury(air raksa) itu berserakan dimeja di lantai dan di depanku. tiba-tiba pintu terbuka dan ada dewi kecil yang paling cantik bergegas masuk ruangan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, dia berdiri di sebelahku, dia harum dan wangi, posturnya ideal sama persis dengan apa yang aku inginkan.
“Ada apa ini…..?”  dia bertanya, dan aku hanya bisa diam saja sambil mengamati kesempurnaan dirinya.
“Perkenalkan aku Venus, kamu siapa….?” Belum sempat aku menjawabnya Dia kembali melempar pertanyaan kepadaku. Aku menjadi kaku, aku gugup. Aku menggapai tangannya, “Lembut….” Ucapku dalam hati. “Aku bumi.” jawabku tanpa reaksi. Setelah itu aku ceritakan semuanya kepadanya tentang apa yang telah terjadi padaku selama ini. Mendengar ceritaku dia meneteskan air mata dan dengan ikhlas dia berkata, “aku mau menjadi pendampingmu sampai senja di akhir hayatmu.”
Mendengar kata-kata itu aku pingsan, aku tak ingat apa-apa, setelah sadar ya ng ada hanyalah Venus, dewi kecil yang menemaniku sampai senja akhir hayatku. Dia setia, dia yang ku cari dan ku impi-impikan selama ini.


0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer