Breaking News
Loading...
Wednesday, September 4, 2013

Dengarkan air bercerita

8:00 AM

“Kadang aku ingin berbincang dengan mereka, meminta maaf kepada mereka, becengkerama dengan orang-orang yang mempengaruhi hidupku. Namun aku sadar, aku tidak akan pernah melakukannya. aku hanyalah mata yang sedang memaksa untuk hidup dan berpikir seperti manusia. air hanyalah air. Namun, pernahkah mereka sadar airpun bagian dari kehidupan.”

Seiring berjalannya waktu terkadang manusia itu benar-benar lupa akan peristiwa pertamakali mereka dijadikan. Mereka terkadang bersikap sombong, dan takabur atas jabatan, kekayaan, ilmu yang mereka miliki. Mereka bertindak semena-mena terhadap orang lain, tidak mau bertenggang rasa kepada sesamanya, dan yang lebih parah lagi, mereka membuat kerusakan dimuka bumi, padahal manusia sebagai kholifah dimuka bumi seharusnya menjaga apa yang telah diamanahkan kepadanya. Mereka tidak hanya diberi kewajiban untuk me-manusiakan-manusia, tetapi juga meng-alamkan-alam, di sinilah yang tidak banyak diketahui oleh mereka, mereka hanya menjaga kehidupan sesamanya tanpa memperhatikan alam lingkungan sekitarnya, padahal tanpa alam semesta ini apalah manusia itu. Kewajiban melestarikan dan menjaga alam lingkungan tak lagi dilakukan, sebaliknya mereka malah banyak melakukan kerusakan dimuka bumi yang dampaknya membuat semuanya berubah, iklim, cuaca, moral, sikap, begitupula dengan diriku.
“Aku hanyalah air, manusia diciptakan pula berasal dari air dan manusia sebenarnya mampu mengambil banyak pelajaran dari Air, dan itu merupakan sunatullah, segala yang tercipta di dunia ini mengandung pelajaran.”
“Aku dikenal sebagai sumber kehidupan. Dariku segala macam kehidupan berawal dan kepadaku segala yang hidup menggantungkan kelangsungan hidupnya, kau tahu….? tak terkecuali manusia.” Aku bicara serius kepada pohon, burung, kupu-kupu, ikan dan banyak hewan lainnya yang lagi menikmati segarnya meminum diriku.
Aku tahu mereka semua kecewa, aku tak lagi menjadi diriku yang sebelumnya, aku mengalir istiqomah dari hulu ke hilir, aku mempunyai tempat asal yang mereka biasa bilang sebagai “mata air”, aku tak lagi bisa mengalir dengan deras dari tempat asalku, karena ulah manusia itu, kini banyak dariku yang mati atau sekedar sedimentasi, aku ada di mana-mana, di pepohonan, di dalam tanah, bahkan di dalam diri manusia.
Pepohonan yang rindang itu termakan waktu dengan kekapitalisasi manusia pepohonan itu hilang, bukan karenna termakan zaman, namun karena mereka tebang, manusia memang tak pernah puas. burung-burung, ikan-ikan dan banyak hewan lainnya semakin lama semakin berkurang, sekali lagi itu bukan karena termakan zaman namun karena sifat manusia yang kapital, mereka memburunya hingga kini spesies mereka tinggal seberapa. Manusia itu tak pernah menyadari akan dampak yang telah mereka timbulkan yang ada di fikirannya hanyalah uang dan uang, mereka tak pernah sadar hilangnnya satu sepesies di bumi ini akan menimbulkan perubahan besar.
Kini musim berjalan tak tentu, penyakit timbul tanpa mereka tahu, di jauh sana banyak orang kelaparan bahkan kekeringan mampu menimbulkan kematian namun di lain tempat mereka menggunakan “Air” dengan boros tanpa perhitungan.
aku yang mengalir dapat menyuburkan tanah sekitar, menumbuhkan tanaman dan menghasilkan buah; mengajarkan pada semua makhluk terkhusus manusia itu agar mereka senantiasa berusaha memberikan manfaat, melayani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. “Khairun naas anfa’uhum lin naas.”
Bersih dan jernih adalah sifatku yang masih alami; melambangkan kejernihan hati, kejujuran dan keadilan, siapapun akan senang akan terlihat jernih pula ketika melihatku.
Banyak manusia yang selalu menjadikan diriku kiblat pembelajaran, dariku mereka dapat mengambil banyak kebaikan, namun sangat miris banyak juga dari mereka yang tidak tahu itu, dan menyepelekan ku. Manusia sering bilang. “Aliran-aliran kecil bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya menjadi sungai besar; jika ingin berhasil, maka kita harus saling membantu dan bekerjasama untuk mencapai tujuan.” Itu kata sedikit orang yang tahu dan mau mengambil hikmah dariku.
Aku ingin selalu mengajarkan kepada mereka tentang kehidupan. Aliranku setiap waktu berubah; mengajarkan bahwa kehidupan ini harus dinamis, selalu bergerak untuk berubah menjadi lebih baik. Jika aku berhenti mengalir maka akan membusuk, demikian pula manusia harus kreatif dan inovatif jika ingin tetap eksis. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang selalu mengeraskan suara “hiduplah mengalir seperti air.”
Manusia memang dapat belajar banyak dariku. Aku mengalir dari atas ke bawah; melambangkan kerendahan hati dan sopan santun, orang yang di atas harus mendatangi yang di bawahnya. Tapi kalian tahu apa kenyataannya,  mereka mungkin buta, kini banyak dari mereka yang di atas lupa bahwa mereka pun berasal dari bawah, mereka melupakan semuannya, bagaikan kacang lupa kulitnya. Untuk apa sekolah sampai mendapatkan title s1, s2 ataupun s3 kalau dalam hidup bersosial saja mereka tak bisa.
Aku dengan mudah melewati bebatuan. Bila bertemu kerikil aku akan mengalir di atasnya namun bila menjumpai batu besar aku lewat di sampingnya; aku ingin menjadi pribadi yang luwes, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri.
Aku mendatangkan banyak kebaikan bagi lingkungan mereka, tapi bila lingkungan ku lingkunganya mereka rusak maka ketika hujan turun aku akan berubah menjadi banjir yang menerjang segala yang aku lalui; ini sebuah sikap yang bijak, didalamnya manusia dapat mengambil pembelajaran bahwa ada saatnya mereka bersikap lembut namun juga ada kalanya bersifat tegas. Inilah kehidupan yang sebenarnya.
Lagi-lagi manusia bilang, “jadikan hidup Anda seperti air, air melambangkan kesucian hati manusia, ketika dilahirkan manusia ibarat air jernih, bersih, suci, tidak membawa noda dan dosa. Kita hidup memaang seperti air, dalam perjalanan hidup kita sering berada dalam fase pasang surut. Air selalu bersikap istiqomah, menjalani hidup seperti air mengalir sama artinya dengan hidup secara tertata, indah, dan teratur seperti air yang selalu istiqomah mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang  rendah.”
Aku  bersifat mengalah, namun selalu tidak pernah kalah. Aku mematikan api dan membersihkan kotoran. Kalau sekiranya akan terkalahkan, aku meloloskan diri dalam bentuk uap dan kembali mengembun. Aku merapuhkan besi yang kuat sehingga menjadi abu, dengan keistiqomhanku aku mampu melubangi batu yang keras itu.
Ketika manusia merendahkan diri, maka derajatnya akan naik. Sebaliknya, ketika mereka merasa besar, maka derajatnya mereka akan jatuh. Ada kehidupan dalam air yang mengalir. Tetapi, di dalam air yang tergenang, terdapat berbagai penyakit. Bahkan, ada yang tidak terdapat kehidupan di dalamnya Oleh karena itu, menusia harus terus bergerak, karena berhenti artinya penyakit bahkan kematian.
Itulah kiranya pesanku kepada mereka yang masih buta hatinya. Aku ingin mereka tahu, akupun makhluk hidup biasa seperti mereka yang pada suatu saat pasti akan musnah juga, aku tak di beri akal oleh Tuhan, tapi aku mampu hidup saling memberi kemanfaatan. Adakah manusia itu tidak tahu, dengan ditebangnya hutan, ketika hujan aku mampu memporak porandakan mereka semua seperti yang terjadi di ibukota jakarta, adakah mereka tidak tahu bahwa akupun bisa mati karena sedimentasi, adakah manusia itu buta. Aku ingin hidup saling melengkapi, aku ingin hidup untuk terus memberi, tapi mengapa mereka dengan kapitalisasinya mengubah seluruh kehidupan dunia, kini aku hanya berada pada daerah tertentu, padahal di daerah-daerah yang lain banyak yang membutuhkanku.
pohon, burung, kupu-kupu, ikan dan hewan-hewan itu mendengarkan ocehanku dengan seksama tak ku sadari satu persatu dari mereka mengeluarkan air mata, semua ini karena manusia, kini aku hanyalah air yang hanya bisa menggenang tanpa mengalir, kini aku hanyalah mata air yang hanya bisa mengeluarkan air mata.

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer