Breaking News
Loading...
Saturday, March 21, 2015

Waskita dalam catatan Harian kita

3:41 AM

Bismillah......
Ternyata malam telah larut..........
Diruang yang kecil itu, hm... ruang yang menghadap ke arah timur itu, dengan cat hijau di bagian luar dan warna putih di bagian dalam, sebuah ruangan yang di bagian depannya bertembokkan kaca berdaun pintu dua, kanan dan kirinya didominasi dengan kaca-kaca, ruangan yang hampir 70% terdiri dari kaca itu, ruang berlantai putih dengan rak buku dibagian pojok selatan menghadap arah timur berjejer rapi buku-buku di dalamnya dan sebelah utaranya berdiri sebuah meja komputer dengan dua komputer jadul di atasnya. Di ruang yang kecil yang mempunyai luas 7x5 meter itu, tujubelas remaja berada di dalamnya namun satu persatu musnah hilang meninggalkan jejak dalam serat, menyisakan delapan biji yang yakin akan tumbuh dan berbuah berakar teguh dan bercabang menjulang ke langit.
Description: https://1.bp.blogspot.com/-TNdeeFazmhI/VQO7T2hOjKI/AAAAAAAAAjI/dI9qokUWpkc/s1600/dsg.jpg
kita akan menjadi apa yang kita mau 
Delapan itu masih terus membaca masih terus bertanya masih terus berjalan dan haus akan ilmu pengetahuan. Delapan itu masih mencari jati dirinya tetap tenang dalam satu maqom keilmuan. Delapan itu masih dengan kebiasaannya, Mahfudz masih dengan cerita-ceritanya, masih merangkai huruf demi huruf di keybordnya di depan kumputer jadul di sebelah utara, Moti masih dengan bukunya, masih tentang biografi idolanya, masih dengan buku-buku sosial polotiknya di depan rak buku di sebelah selatan itu, Toni (jawazim) masih berpuisi merajuk serat menyimpanya di dalam sahabat, sahabat ilusi atau yang masyhur dengan diary,  Billi masih dunia imajinasinya khayalan tingkat tingginya dengan humor konyol cirikhasnya, Tomy masih dengan design grapicnya dengan movie makernya, masih dengan dunia vectornya, Habib masih dengan kepingan-kepingan buku tentang siapa aku, masih dalam pencarian dimana aku hendak pergi , duduk rapi bersandar membelakangi meja komputer. Dan Aku masih sibuk dengan tulisan ini tentang mereka, waskita dan diriku sendiri. Najib masih mencari-cari sesuatu yang dirasa cocok dengannya di rak buku di sebelah selatan itu.
Setelah beberapa lama akhirnya dia mengambil sebuah buku yang unik, aneh, yang selama ini tidak pernah dia temukan sebelumnya.
“Waskita dalam catatan harian kita”. Ucapnya mengeja kumpulan huruf-huruf yang ada di cover buku tersebut.
Tidak mereka sadari kata-kata Najib tadi Mengalihkan perhatian teman-temannya yang yang sedang serius dengan duniannya sendiri.
Semuanya berjalan meninggalkan keseriusan menuju sebuah buku fenomenal.
Halaman pertama terbuka, sebuah puisi menyalami mereka.
“biarkan aku yang membaca”. Ucap Tony antusias.

Kawan
Telah tiba satnya kita dewasa
Mampu memahami beda
Antara berkah dan musibah
Karuni dan petaka
Mana yang mestinya membuat tertawa
Atau malah mengalirkan air mata

Kawan
Mari kita buka catatan
Kita tulis semua pesan
Yang telah tuhan sampaikan
Lewat tiap detik episode peran
Yang kita mainkan dalam kehidupan

Kawan
Mari kita bealajar begandengan tangan
Perjalanan ini masih panjang
Gunung lembah dan sahara menghadang
Jauh lebih mudah kita hadapi jika tidak sendirian

Kawan
Mari kita angkat sauh
Negeri impian kita maih jauh
Bagaimana mungkin bisa berlabuh
Jika dayung tak segera kita kayuh

Kawan
Mari terbangkan ruh
Kita tinggalkan kubangan nafsu
Menaiki awan menembus galaksi
Dari sana kita lihat bumi
Dari cara pandang para wali

Kawan
Mari kita mulai membaca
Mengeja semesta
Menata alif ba ta cinta
Mencari” sang pencipta

Kawan bersama tiap rinai doa
Ada namaMU diiringi pinta
Semoga kita tetap bersama
Mesti dimana kita berada
Semuanya hanya diam, terbawa suasana mengikuti alur puisi yang di baca Fatony. Dia melanjutkan.
“Waktu berjalan dengan semestinya mengiringi kita dan pergi meninggalkan pesan dan pelajaran bagi kita, semua serba satu hakikatnya harus terisi satu dan satu. Kebersamaaan kita waktu itu “kita akan lebih mampu menghargai kebersamaan ketika telah datang sebuah perpisahan, seperti halnya kita akan lebih mampu menghargai cahaya ditempat yang gelap gulita”. Persahabatan, suatu yang  mahal harganya yang mungkin tak akan tergaidaikan oleh apapun, dan perpisahan itu akan datang ketika kita telah berbaur dalam pertemuan. Kebersamaan adalah hal terindah meski perpisahan selalu mengiringinya. Kawan, kita berpisah untuk bertemu kembali di sini, ya di waktu ini di tempat ini di rasa yang sama, rasa ini. “Waskita” di halaman pertama, seakan-akan mereka terbawa kembali ke masa lalu yang ditinggal pergi dan berlalu.
Fathoni melanjutkan. “Di dalam ruang yang kecil ini kita meninggalkan berjuta kenangan, hingga hari-harinya menyuguhkan sebuah potongan potongan. Potongan-potongannya tak akan pernah kita lupakan, simak sama-sama dari sini kita berjalan terus berjalan. Kawan, mari kita buka catatan, kita tulis semua pesan yang telah tuhan sampaikan lewat tiap detik episode peran Yang kita mainkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita berbicara tentang mimpi, cinta, kehidupan, gosip, fantasi, dan studi.”
“Saat raga ini bersatu berbagi bersama kalian, kakiku yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tanganku akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mataku akan menatap tajam lebih lama dari biasanya, hatiku akan lebih peka merasa lebih dari biasanya, lapisan tekat yang akan berubah seribu kali lebih keras dari baja, mulut yang akan selalu berdo’a lebih bermunajat dari biasanya.“
Potongan-potongan keajaiban hati telah tertinggal di antara keindahan yang telah kita lewati, menyentuh hati ini, bersemayam di dalamnya. Aku masih bisa merasa, potongan-potongan itu ada di dua (2) Mei, serpihan-serpihannya ada di sebuah istana yang kita bangun, sebuah istana bernama Waskita, kalian ingatkan sebelum semua berjalan dengan normal semestinya, kita berkumpul bersama, bermusyawarah tentang masa depan, tentang siapa dirikita.
Tujubelas, kita memilihnya dengan berharap kepada tujubelas rokaat sholat fardlu, yang mungkin tujubelas itu kini tidak lagi bersama, namun itu hanya sebatas raga, hati kita tak pernah berpisah. Kawan, kalian masih ingat tujubelas itu siapa saja....? Rudi, Saiful huda, Atho`ur rahman, Fatoni, Ainun najib, Sajidin, Tomy (jawazim), Tamami (Moti), Arip, Habib, Umar, Irfan, Ridlouan, Mahfudz, Hady, Faisal dan Billy lengkap kan.... kalian masiih ingatkan....?
Waktu itu kita masih sama-sama tak tahu apa-apa, kita hanya sering coba dan mencoba, di dalam ruangan istana anak-anak raja biasa bermain di pekarangannya, belajar bersama, berbudaya, mencari bahasa dan sastra, inggris jepang, arab, mandarin juga. Guru-guru kita, adakah kalian masih mengingatnya...? kita awali belajar di mushola berbaur didasar-dasar lantai tanpa meja ataupun kain helai.
Waktupun terus berjalan membuat kita semakin mengenal, semuanya, tak bisa ku sebutkan terlalu banyak dan berkesan. Ilmu itu datang dengan sendirinya seiring kita berjalan menjalaninya, kita banyak belajar dari kehidupan dari pengalaman, memang kita hanyalah sebuah komunitas yang terbuang.
“asu....!” billy tiba-tiba mengeluarkan kata-kata sopannya, “aku nangis cuk, melas temen awak ndewek yo, wes kate lali aku nek tau koyo ngono” lanjutnya
“iyo cuk, asem, nak jarene khairil anwar kita ini adalah binatang jalang yang terbuang.” Tambah Jawazim agak puitis.
“Wes-wes, terusno zim, wes kadong terbawa suasana kie” pinta moti berambisi.
“Dua mei berjalan terus seperti air mengalir dari hulu ke hilir melewati hari-hari yang pastinya akan tetap kita kenang hinga hari tua nanti, juni, juli agustus, bulan-bulan berganti dari jalan kita kembali ke kerajaan, kita tempati istana lagi, kini base came kita telah sempurna, meja, alas, kaca, pintu, jenedela, rak buku, komputer dan lain sebagainya, semuanya telah sempurna, kita bisa bermain belajar di istana kita sesuka hati kita.”
“Potongan-potongan itu ada di bulan agustus, serpihan-serpihannya ada di jalan-jalan di tengah-tengah keramaian ketika kita sedang mengikuti lomba, 14 agustus kita putuskan untuk ikut lomba, mungkin itu kali pertama dan yang terakhir kalinya, dalam memperingati hari kemerdekaan kita ikutan lomba gerak jalan, dengan berseragam putih combinasi hitam dengan menggunakan selogan kami sama tapi beda yang membuat semua orang asing dengan kehadiran kita. Kita lalui lomba dengan suka cita, bahkan ketika waktu asar tiba kita berhenti pada sebuah mushola dan memilih bermunajad di dalamnya, mungkin ini melanggar peraturan lomba, tapi ini tidak melanggar peraturan Waskita dalam beragama, kita sholat ketika masih dalam perlombaan berjalan, kawan bukankah itu merupakan sebuah kekonyolan yang pernah kita lakukan. Kami sama tapi beda.
Lomba itu berjalan dan berakhir sudah, kita tak dapat apa-apa, kelihatanya, sejatinya kita mengukir suatu yang belum terukirkan sebelumnya, kita masih memikirkan ibadah kita dari pada sebuah lomba, kita beda, itu yang tak pernah di lakukan kebanyaakan orang, kita melakukan hal yang sepesial kawan, yang orang lain tak ada yang melakukannya, mungkin kita yang pertama kawan, dan semoga saja banyak orang lain yang mengikuti kita. Itu perjalanan singkat kita yang aku yakin kalian tak akan melupakannya.”
“waktupun terus berjalan dan kita terus berjalan melewati detik-detik episode kehidupan, kenagan-kenangannya, potongan-potongan itu, serpihan-serpihannya ada di sebuah desa kecil, di tengah-tengahnya terdapat sebuah peternakan, waktu itu kita sering mencoba, terlebih kita suka wawancara, tawa kita masih terdengar sampai sekarang, kekonyolannya tak pernah bisa hilang.
“Bertanya tentang limbah, tentang pupuk, tentang kebijakan, tentang gaya hidup jaman sekarang, tentang semuannya, kita lakukan dengan suka cita, videonya masih tersimpan dan tertata rapi di file-file karya kita. Foto-fotonya kita sebar ke dalam dunia maya, itu semua yang tak pernah kita temukan di dunia sekolahan.”
“Serpihan-serpihannya ada di sawah-sawah, tentang mata pencaharian, kita mendatanginya, di dunia batu bata, kita mulai bertanya, mengumpulkan narasumbernya dan mempersiapkan reporternya. Hahahhaha, konyol sekali, kita menggunakan alat apa adanya. Orang-orang pada bertanya mengenai apa yang kita lakukan, kita hanya menjawabnya dengan senyum keyakinan, kita lebih kreatif kita lebih bebas, kita lebih merdeka.”
“Waktu masih terus berjalan banyak hal yang telah kita lakukan, kenangan-kenangannya tak sepenuhnya bisa aku tuliskan, banyak sekali yang telah kita lewati hingga sampai pada episode berstudy ke luar negeri (Salatiga).”
“Potongan-potongannya ada di rute-rute jalan ke salatiga, serpihan-serpihannya ada di gubug penantian, tawa-tawa di dalam bus jatirogo-bojonegoro, serpihan-serpihannya ada di terminal pengasingan, ada di stasiun bojonegoro sampai tawang semarang.”
“Jarum jam menunjukkan pukul 13:35 seiring berjalannya waktu di dalam kereta ekonomi itu kita tertawa, bercanda, clelek-an, berpose, menggoda para bidadari yang terlahir di bumi, tawa kita kadang membuat orang lain jadi tidak tenang, “aduh kenapa ada anak-anak gila di sini, apa dia sedang lari dari rumahsakit jiwa ya” batin mereka.”
“Sesekali para penjual nasi bungkus dan minuman-minuman botol itu lewat sambil menawarkan dagangannya ramah. “MR Cool, MR Coolllll......” suara dan auranya membuat kita gelagapan, rasa dan getarannya kita bawa sampai ke kota Salatiga. Setasiun demi stasiun telah kita lewati, kota demi kota kita lalui jua, detik-detik tidak berlangsung lama, namun tawa kita tak ada habisnya.”
“Stasiun tawang Semarang, kita berhenti untuk berganti posisi, alamat yang kita tuju kita tidak tahu, namun tawa kita tak pernah surut akan hal itu, serasa hidup di surga detik-detikpun tak ada yang tak bahagia.”
“Dari kereta kita beralih ke angkotan kota, dari angkotan kota kita berpindah bus terminal semarang, menuju terminal Tingkir kota Salatiga, memang ini bukan yang pertama kalinya, kita pernah ke sana sebelumnya tapi bukan dengan ini caranya, kita benar-benar tak tahu jalan, malam mulai lebih kelam, jarum jam terus berjalan dari enam, tuju, delapan, sembilan, dan berhenti pada angka satu dan kekosongan.”
“Kita merasa hafal dengan tempat itu, dengan PeDenya kita tak pernah bertanya, padahal para pepatah sering berkata “malu bertanya sesat di jalan” tapi kita tetap memaksakan.”
“Akhirnya waktu krusial itu kita lewati juga, bersama tukang ojek kita menuju tujuan kita. Malam telah larut melarutkan tawa kita yang sedari tadi tak ada habisnya.”
“Kita sampai di tempat tujuan. Salam mengawali ucapan kita, setelah mendengar jawabnya kita memasukinya berbincang bercakap cukup lama dan berakhir ke tempat terindah, “kamar tamu”. Ingat saja mereka, Kepala rumah tangga Bapak Bahrudin selaku pendiri komunitas belajar yang kita ambil pelajaran, Ibu rumah tangga yang kita tak pernah tahu namanya “hahahaha”, Mbak Fany n Mas Sayigh (Ghiyas).”
“Waktu-waktu berlalu detik-detiknya tersa berharga, kita kesana bukan untuk main-main saja, tapi menguatkan tekat bahwa kita akan tetap bisa, kita akan tetap mampu menemukan sesuatu yang keberadaannya pun belum tentu. Malam itu terus berjalan dan kita hanya tidur satu jam.”
“Dari rencana kita cukup menginap dua atau tiga hari saja, namun dunia yang tak sama membuat kita merasa nyaman di sana, hari-hari berlalu disana kita banyak menemukan sesuatu. Mulai dari yang serius, konyol, tolol dan yang tak pernah kitatemui sebelumnya.”
“Serpihan-serpihannya ada di pagi pertama di indahnya mentari pagi di bawah gunung yang hijau menarik hati “Merbabu”, kita tak pernah menemukan itu di dunia kita, kita merasakan kehadirannya saat di Salatiga.”
“Pagi membuat perut lapar bersama tawa yang membuat kita terkapar, kita tak pernah menemukan makanan yang seunik di sanana, kita bisa makan sepuasnya, karena kemurah meriahannya, soto seribu limaratus, gorenagan sebesar sandal hanya Rp300 tigaratus, kemurahannya membuat kita semakin betah di sanana.”
“Hari berganti hari, selama di sana kita selalu melakukan rutinitas yang sama yang beda dari yang kita lakukan di Waskita.”
“Serpihan-serpihannya ada di setiap jam pagi, kita mulai dari jam setengah tiga, kita mulai dengan tawa di samping-samping kita para tetangga masih dengan bunga mimpinya, kita mulai berdiskusi tentang humor dan rangakaina tipuan hati.”
“Berlanjut jam empat seperempat, adzan berkumandang, dan kita menikmatinya suara lelaki tua yang tak pernah kita temukan sebelumnya, dengan pujian yang sama dan nada yang sama, mungkin itu termasuk rutinitas seperti kita-kita.”
“Berganti menuju rutinitas pagi, setelah sholat kita berjalan menelusuri jalan-jalan seperti para wisatawan, kadang itu juga membuat aku agak bingung, sebenarnya kita ini mau belajar atau sekedar liburan...? hm.... tapi itu tak usah kita pikirkan ada sesuatu di balik sesuatu, ah, konyol sekali.”
“Rutinitas tak akan berganti, setiap pagi kita bersama menelusuri jalan dan gang-gnag, dan banyak sekali yang kita temukan, ikan, kerupuk bungkusan, kopi, lebah, dan masih banyak lagi, ah, Tuhan terlalu berbaik hati.”
“Setelah lama kita berjalan perut kita merasa lapar, dan ketila lapar itu datang kita selalu mengistialahkan “awe-awe” itu pertanda perut sudah minta makan, rutinitas kita tak pernah tergantikan mulai dari bangun pagi hingga bangun pagi lagi, kita sarapan di tempat yang sama dengan selera yang sama, makan pun juga. Pagi kita sarapan soto, siang mencari nasi sayur sambal, dan malam, nasi kucing atau sate jeroan kita tetap bisa makan.”
“Setiap jam delapan tiba kita kembali ke kamar keruang tamu yang telah di sediakan, masih dengan rutinitas yang sama, kita masih bercanda dan tertawa padahal di bawah sana banyak anak yang sudah berkumpul untuk belajar bersama. Kita SMSan sesekali Fban sambil menunggu teman kita yang baru mandi, antri coy, gantian.”
“Jam setengah sembilan sampai jam dua belas siang kita mengikuti kegiatan belajar mengajar di sana, ini yang kita inginkan sebelumnya, kita ingin belajar menjacari pengetahuan, eh, ternyata malah lebih sering keluyuran, ckckkckkc.”
“Setelah jam belajar usai kita sholat dan cabut lagi keluar untuk makan siang, pastinya dengan menu yang sama, di tempat yang saama seperti yang telah aku tulis sebelumnya.”
“Semua berjalan begitu saja hingga malam tiba, seperti pagi harinya, tepat sebelum solat mahgrib tiba kiat selalu siap untuk kembali berjelajah ke cakrawala, kita jalan-jalan lagi.”
“Di jalan-jalan kita temukan suatu yang berkesan malam itu kita lapar, seperti biasa kita mencari tempat yang istimewa. Kita terus berjalan berdiam di suatu tempat, kau ingat, saat itu kita mengejar seseorang, bukan maling, copet atau perampok, tapi sekedar kaum hawa, wah, kita bernar-benar meknakutkan, kita mengikutinya tanpa ada maksud apa-apa dan semuanya berakhir dengan lari dan hilang jejejaknya.”
“Malam, rutinitas tak terlupakan tak terlewatkan, di tengah sebuah kesibukan “tidur” kita masih menyempatkan untuk tertawa bercanda bersama, kita maish ingatkan, ketika Chipeng (Billy) bercerita, Ketika ia sudah mulai bercerita, ia seakan-akan adalah Rendra di atas teaternya, menguasai seluruh panggung dengan suara dan gerak-geriknya. Seringkali  ia terlihat begitu konyol. Dia memang pria penghibur, hahahaha suara tawa menggelegar dan itu rutinitas selama kita ada di sana, adakah kalian masih mengingatnya, tawa kita berakhir sampai jam satu atau jam dua, itu terus belalau rutinaitas kacau balau.”
“Kita masih mempunyai serpihan-serpihannya di sana, ketika ada sebuah foto mesra antara kita “maaf jangan ada yang tersinggung, ada juga foto bugil di dalam kamar mandi, di intip cewek-cewek ketika kirta sedang makan bersama di warung atau tempat yang sama, kita sering menjumpai banyak wanita dari pada pria, kiita juga temukan buah coklat, pepaya yang berbentuk jeruk yang pasti itu khayal adanya, namun itu semua nyata, kita pernah melewati dan menemukannya.”
“Kita juga peranh foro bersama dengan jailangkung di pesantren yang nyentrik, kita temukan ngajinya seperti kita saat berada dalam mushola untuk ngaji bersama.”
“Serpihan-serpihannya masih terlihat jelas hingga suatu hari kita pamit untuk kembali ke markas.”
“Dengan satu cindrea mata kita meninggalkan kota Salatiga, setelah sambutan yang begitu hangatnya, orang-orang yang ramah tak terkira, kita pergi kurang lebih jam dua siang, dan mulai saat itu mungkin orang-orang di sana merasak terbebaskan akan hilangknya kita dari engerinya, tawa kita mungkin selalu mengganggu tidur malam  dan siangnya, tawa kita mungking selalu membuat takut anak-anak kecil yang terbiasa bermain-main di sana.”
“Kita tinggalkan kota kenangan kembali menuju istana Waskita, serpihan-serpihannya ada di jalan-jalan, sampailah kita di kota semarang, bermalam di sebuah mushola. Di sana kita jalan-jalan masuk mol dan gang-gang yang tidak kkita kenal, malam semakin larut wanita-wanita penghibur menghiasi jalan-jalan kota dengan suara lirih lelaki tua itu berpesan kepada kita “Dek, jam dua belas malam jangan ada yang keluar” kita hanya mengiyakan.”
“Kita penasaran karena nyamuk yang suaranya bagai suara balapan kita tak bisa tidur hingga larut malam, jam 00:00 kita menengok keluar pagar, di jalan-jalan besar para kupu-kupu malam berkeliaran seperti kelelawar, dari itu kita tahu mengapa bapak tua itu berpesan ketika tengah malam tiba kita tak boleh keluar.”
“Nyamuk-nyamuk itu masih bernyanyi suaranya bagaikan balapan motogp, hingga pagi menjelang mata kita tak bisa kita pejamkan. Setelah sholat subuh akhirnya kita berpamitan, dari stasiun Tawang Semarang kita menuju stasiun Bojonegoro.”
“Hari itu hari jum’at tawa kita masih melekat, kekonyolan kembali kita lakukan, karena kokrokokrokokrokokrokok suara yang tak jelas antara koro atau rokok itu kita tirukan, kita sempat mau di pukuli orang, kita hanya diam kita akui kita salah, itu sebuah pembelajaran, dan tawa kita tetap hidup seperti sedia kala, kesedihan telah mati tak ada lagi rasa (sedih) di antara kita.”
“Perjalanan panjang itu membawa kita kembali ke waskita, kita terapkan semua yang telah kita dapatkan dari kota Salatiga.”
“Hari-hari berlalu menuju satu masa, setelah kebersamaan itu ada kita jalani seiap episodenya kini waktunya kita berpisah, perpisahan itu datang dan kita hanya terus berjalan menuju keyakinan.”
“Kita kembali ke tempat asal, kita kembali ke sekolahan dengan tidak melupakan sebuah komunitas belajar Waskita, cerita itu cukup sudah kenangan indah terukirkan sudah kini kita hanya tinggal mengambil pelajaran dari setiap detik-detik episode kehidupan, banyak yang tidak tersiratkan tentang Waskita, tetapi paling tidak kita telah ahu sebagian besar darinya, kita pernah bersama dan tak akan melupakan kebersamaan itu begitu saja.”

“Kututup dengan dua”
Dua yang berujung kekosongan
Tersimpan rapi dalam kesenangan
Berujar disetiap serat-serat puisi
Khafi, dan baru ku sadari dibulan mei

Dua yang membuatku cemburu
Ketika kebersamaan ini menjadi semu
Jabat tangan tak lagi kita temu
Apa lagi jabat hati
Sayang
Keyakinan berubah keraguan

dua yang menyentuhku
merubah iklim dan cuaca
panas dinginnya
menusuk qolbu-qolbu yang masih basah dengan airmata

dua yang tak bisa ku artikan
atau artinya tak bisa aku temukan
di sana aku masih mengingatnya
betapa mesranya dirimu dengan dirinya

dua yang membingungkanku
membimbing membangun membuangku
membawa membuat membuaiku
tunduk layu dalam bualanmu

dua yang tak bisa aku lupa
ketika rangkaian kata-katanya
mampu meresahkanku
cerita-ceritanya yang akan dikenang selamanya
kekonyolan yang tak akan hilang bgitu saja

dua yang tak hanya sebuah angka
di sana kau dilahirkan
cerita, derita, dan cinta
tak akan mudah terlupakan
ketika semua itu kau buat lebih berkesan
tentangku tentanmu tentang kita

dua yang setuju
setelah kekosongan itu berpindah tempat
terbagi menjadi satu per empat
tempat kau mengumpat
menyimpan cinta dalam serat

dua yang menjadi awal setiap rangkaian kata
dua yang ku tunggu
setelah perpishan itu

Dua
Malam itu malam minggu
Langit berwarna kelabu
Bintang itu menghilang rembulan itupun pergi
Dan aku berkata
Malam ini terasa sepi
Ada apa dengan hari ini

Dua......
Heningnya tak kunjung reda
Malam yang penuh dengan kemisterian
Mengigil dalam pandangan angin malam

Dua
Tak hanya malam namun juga paginya
Mendung menyelimuti hari ini
Tanpa sang mentari
Rintik-rintik hujan turun teratur
Membuat pandanganku tentangmu menjadi kabur

Dua
Membuatku bertanya-tanya tentang misteri di dalamnya
Dan ku temukan jawabnya di dalam dunia maya

Dua
Kita mulai bersama
Kau suguhi aku secangkir kopi hangat
Kau aduk dengan tawa-tawa mereka yang melekat
Di sana di sini
Di ruang yang penuh kekonyolan ini
Kita merajut hati dengan cinta dan kebencian yang terilustrasikan
Bukan karena dua juga bisa mendua
Tetapi langkah-langkahnya
Di gang-gang bisu yang mampu menjawabnya
Terlontar di hamparan salju hitam
Kita menari bernyanyi dan berdendang

Dua
Kita masih anak-anak
Belum pantas untuk saling menduakan
Tapi dua tetaplah dua
Kita ingat kawan
Dua itu
Yang mungkin aku dan kamu saling berebutan
Namun kita bersama-sama akan mendapatkannya
Dua yang akan kita bagi dua
Bersama tawa-tawa kita
Dua yang akan kita hidupkan lagi
Setelah dia mati suri.
Dua
Satu dan sembilan itu berlalu
Meninggalkanku meninggalkanmu
Dalam rasa resah dan haru
Dan aku akhirnya yang cemburu
02, mei 2013
Jawazim membacanya penuh dengan penghayatan
Halaman demi halaman telah terselesaikan mereka semua bingung dan mulai bertanya-tanya siapa di antara kita yang menuliskannya. Semua saling pandang dan waktu datang dengan sebuah warna, putih, semua menjadi putih hingga semuanya hilang dari pandanganku dan aku sadar ketika aku bangun dari tidurku.
Aku bangun dengan sebuah buku yang belum selesai ku tulis, Hah, ternyata hanya sebuah mimpi, mungkin aku terlalu kangen dengan mereka, ku buka kembali bukuku yang belum habis aku tulis itu, “Waskita Dalam Catatan Harian Kita” mungkin aku terlalu serius menuliskannya hingga terbawa sampai alam mimpi yang penuh imaji.
Tuhan malam ini kau suguhi aku mimpi yang ingin ku jadikan kenyataan.
Kawan..... adakah mimpiku ini akan jadi kenyataan, adakan kita akan kembali bersama.
Kita tungggu saja tanggal mainnya.....

Surabaya 08 Juli 2013

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer