“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia cinta kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Alloh-lah sebaik-baik tempat kembali (surga)”. (Qs. Ali
Imron [3:14]).
Alloh swt. menciptakan manusia sebagai makhluk yang
sempurna. Dengan itu pula manusia mempunyai rasa cinta sebagai fitrahnya, dan
dengan cinta itu manusia dapat memandang sesuatu menjadi indah (nikmat).
Keindahan-keindahan yang menimbulkan ketertarikan nafsu untuk memilikinya.
Namun Alloh juga telah membuatnya jelas, dari yang
indah itu ada kalanya menimbulkan kebaikan
namun tak jarang pula menimbulkan keburukan. Namun jika nafsu telah
menguasainya yang kelihatan hanyalah yang baik dan eloknya saja serta lupa akan
buruk atau susahnya.
Padahal
semua yang kita miliki dan kita nikmati hanyalah perhiasan kehidupan di dunia.
Semua akan habis jika pada waktunya, sedang bekal untuk di akhirat kita tidak
sedia. Padahal di belakang hidup ini ada lagi hidup yang akan kita hadapi, dan
Tuhan akan lebih tegas lagi.
Semuanya
hanyalah ujian, untuk memastikan siapa yang benar-benar berhak mendapatkan
kenikmatan yang kekal serta pertemuan dengan Tuhan. Namun begitulah Tuhan
menakdirkan. Manusia lahir dengan takdir yang berbeda-beda, ada kalanya dia
berada dalam terang cahaya dan selamanya tetap pada cahaya hingga ajal
menjemputnya. Ada pula yang lahir dalam kegelapan, lalu menemukan cahaya
setelah perjalanan panjang. Ada pula yang lahir dalam kegelapan dan hidup
semakin dalam kegelapan karena menyekat diri dari cahaya bahkan perlahan-lahan
menjauhinya. Namun adapula yang ditakdirkan lahir ditengah cahaya, lalu jatuh
dalam kegelapan, namun bangkit kembali dan menemukan cahaya yang lebih terang
dari sebelumnya. Seperti halnya kisahnya. Muhammad Hasyim Rowi. Dia
bercerita:
Apa yang
saya inginkan dikabulkan Tuhan
Saya lahir dari keluarga yang
biasa-biasa, bukan keluarga yang kental dengan agama. Namun kedua orang tua
saya sangat mengidolakan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi islam
Nahdlotul Ulama’ (NU). Dari itu, saya diberinama Hasyim, dengan harapan saya
dapat menjadi seperti K.H Hasyim Asy’ari.
Maka ketika lulus dari Sekolah
Dasar (SD) saya dipondokkan oleh kedua orang tua saya. Tiga tahun pertama saya
habiskan di salah satu pesantren di kota Gresik. Namun kedua orang tua saya
belum puas dengan apa yang saya dapatkan dari mondok di Gresik. Tidak ada
perubahan yang mencolok dari kehidupan saya yang di rumah. Banyaknya santri
membuat keseharian di pesantren kurang diperhatikan. Terlalu bebas, jarang
belajar dan saya merasa masih seperti sebelumnya.
Akhirnya saya dipindahkan oleh
kedua orang tua saya di salah satu pesantren di kota Kediri. Kehidupan di
pesantren Kediri berbeda jauh dari yang saya alami di Gresik. Setiap hari
dipenuhi dengan hafalan, muthola’ah dan berbagai kegiatan tambahan. Bahkan
untuk menentukan kenaikan kelas, para santri diwajibkan menghafal beberapa bait
alfiah sesuai tingakatanya. Sedang saya sangat lemah dalam hal hafalan,
hasilnya selama dua tahun di sana, saya tak juga naik kelas. Dari hal yang
sepele itu, saya menjadi malu, malu dengan diri sendiri dan teman-teman yang
lainnya. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari pesantren. Saya pulang
tanpa izin, tanpa memberi tahu orang tua ataupun pengasuh pesantren. Yang ada
di dalam fikiran saya hanyalah saya ingin pulang dan tidak ingin kembali.
Di tengah perjalanan pulang itu,
di dalam Bus terbesit dalam hati saya. Sesampainya di rumah, saya ingin bebas, bebas melakukan
apa saja dan ingin sekali melakukan maksiat. Dan benar, sesampainya di rumah
saya mendapatkan teman-teman yang benar-benar membawa saya ke dalam kemaksiatan.
Orang tua saya tidak memaksa saya untuk kembali ke pesantren, dan juga tidak
berani memarahi saya meskipun saya berteman dengan orang-orang yang membawa
saya kedalam lembah kemaksiatan.
Mulai waktu itu semuanya
benar-benar menjadi, saya jarang pulang, melakukan apa saja yang saya suka, juga
melakukan segala kemaksiata. Terlebih sejak ayah saya meninggal. Kehidupan saya
semakin tidak karuan, bahkan tak ada satu orangpun dari keluarga saya yang
berani menasehati saya.
Apa yang saya inginkan, apa yang
terbesit dalam hati saya ketika di dalam Bus seakan-akan dikabulkan oleh Tuhan.
Semua yang saya inginkan benar-benar dapat saya lakukan. Tak tanggung-tanggung
12 tahun kehidupan saya sebegitu rusaknya.
Tak sedikitpun saya ingin
berhenti, tak sedikitpun saya menyesali atas apa yang saya lakukan, meskipun
waktu itu saya sudah mempunyai istri dan juga anak. Kehidupan yang begitu gelap
masih belum bisa saya tinggalkan. Setiap hari saya selalu pulang larut malam,
dan setiap saya pulang, pasti saya dalam kondisi mabuk. Dan parahnya ketika
sudah seperti itu saya sering melakukan hal-hal yang di luar kesadaran saya.
Banyak hal-hal bodoh yang saya
lakukan. Tangan dan kaki saya serasa bergerak sendiri, dalam kondisi seperti
itu tak jarang saya melakukan kekerasan, hingga semuanya membiarkan saya, tidak
pernah memarahi saya ataupun menegur saya. Sering juga saya mendobrak pintu,
membanting barang-barang, melemparkan meja dan kursi, bahkan pernah memukul
kulkas dengan benda tajam hingga lubang. Semua itu benar-benar di luar kendali
saya, dan ketika saya sadar, saya tidak pernah merasa menyesal atau bersalah
atas apa yang saya lakukan.
Hingga puncaknya tiba, seperti
biasa, malam itu saya pulang dalam kondisi mabuk. Dalam kondisi yang tak sadar
itu saya “kesasar” tidur di kamar ibu saya. Pada waktu itulah ibu saya
melangkahi saya sampai beberapa kali, terlalu banyak. Dengan harapan saya bisa
kembali menjadi seperti dulu, anak yang bisa menegakkan agama.
Sejak waktu itu serasa ada
perubahan dalam diri saya, terasa sangat berat ketika hendak melakukan maksiat.
Bahkan mulai terbesit rasa ingin taubat dan kembali kejalan yang benar yang
diridloi oleh Alloh. Peperangan batin terjadi, tiba-tiba rasa ingin untuk
berhenti melakukan maksiat itu semakin kuat, namun saya selalu saja tidak bisa menolak
ketika ada teman yang menelfon saya dan mengajak saya untuk melakukannya.
Lidah saya kelu, sulit sekali
untuk berkata “tidak”, selalu saja saya menjawab dengan “iya”. Namun setelah
melakukan segala kemaksiatan itu saya selalu menyesal, saya menangis, bahkan
sering saya berbicara sendiri, mengadu kepada Tuhan bahwa sebenarnya saya ingin
berhenti, namun tak kunjung bisa.
Rasanya masih saja ada tali yang
mengikat saya, membawa saya kembali kepada kegelapan, dan saya benar-benar
tidak bisa menolak. Bahkan sering sekali ketika dalam kondisi mabuk itu saya
melihat bintang, terdiam sejenak, lalu menangis, menangisi terhadap apa yang
telah saya lakukan, kepada diri saya, kepada anak saya, istri saya dan juga ibu
saya.
Hingga suatu hari terbesit dalam
hati, apakah saya benar-benar bisa kembali ke jalan yang benar, apakah saya
benar-benar bisa menjadi orang yang bisa meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan
yang telah saya lakukan selama ini. Waktu itu juga tiba-tiba saya teringat
teman-teman di pesantren, dan berharap Tuhan memertemukan saya dengan
orang-orang yang seperti mereka. Namun dalam hati saya berkata, apakah di kota
ini ada orang-orang yang seperti itu, apakah di kota ini ada pesantren yang
benar-benar dapat mengubah hidup saya kembali seperti semula. Saya hanya bisa
menangis, air mata itu tak bisa berhenti, dan penyesalan itu semakin menusuk
hati.
Akhirnya salah satu cara agar
saya tidak lagi melakukan kemaksiatan-kemaksiatan itu, saya membuang kartu
seluler saya. Saya tinggalkan handphone saya. Saya hanya diam di rumah, saya
tidak pernah keluar hingga 2 bulan. Tepat pada waktu itu tiba-tiba saya
terbayang-bayang wajah teman lama saya, selama empat hari berturut-turut.
Ada rasa tidak enak di dalam hati
saya, saya khawatir, mungkin sedang terjadi apa-apa. Saya ingin menanyai
kondisinya, mungkin saja sakit, atau apa, namun nomor handphonya hilang bersama
kartu yang saya buang. Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke rumahnya
memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya saya dirumahnya, saya
bertanya kondisinya dan menceritakan apa yang telah saya alami selama 4 hari ini.
Dia menjawab tidak ada apa-apa, tidak sakit, dan tidak ada masalah. Namun saya
merasa ada yang beda, sikapnya beda dari biasanya, prilaku dan tutur katanya
lebih sopan dan halus. Saya mulai bertanya-tanya, dan menanyainya mengenai
prilaku dan tutur katanya. Dia menjawab bahwa akhir-akhir ini dia ikut ngaji di
sebuah pesantren.
Sayapun terperanjat kaget.
Tiba-tiba saya ingat bahwa beberapa hari yang lalu saya meminta kepada Tuhan untuk dipertemukan kepada
orang yang dapat membawa saya kembali ke jalan yang benar, membawa saya ke
dalam kehidupan pesantren. Mungkin ini adalah jawaban Tuhan bagi saya. Saya pun
menanyakan alamat pesantren tempat dia
mengaji.
Setelah mendapatkan alamatnya
sayapun pulang. Namun saya tidak langsung datang ke pesantren tersebut. Ada
rasa ragu, bimbang, khawatir, takut, dan macam-macam hal yang membuat saya
tidak datang ke pesantren tersebut. Baru setelah dua hari, dengan rasa berat,
saya mulai melangkahkan kaki dan pergi untuk mencari pesantren tersebut.
Waktu itu hari kamis, tepat
setelah sholat subuh saya berangkt mencari alamat pesantren tersebut. Setelah
lama, akhirnya saya menemukanya, tepat jam enam kurang seperempat. Saya
mengucapkan salam lalu masuk ke dalam pesantren. Saya terkejut, saya kaget, ada
11 santri yang sedang mengaji di pagi itu dan wajah mereka bercahaya. Berapa
kali saya mengusap mata saya memastikan bahwa apa yang saya lihat adalah nyata.
Dan benar, yang saya lihat dengan mata kepala saya adalah nyata. Mereka bercahaya,
sedang tubuh saya gelap, di sekeliling saya hitam. Saya pun terdiam, hati saya
menangis, mungkin inilah yang sebenarnya.
Saya semakin sadar, Tuhan
lagi-lagi mengabulkan do`a saya, Tuhan kembali menemukan saya dengan
orang-orang yang saya inginkan. Tuhan memberi saya kesadaran serta cahaya-cahaya
terang yang nyata yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Saya merasa senang,
saya merasa hidup saya kembali, dan sejak itu, saya benar-benar meningalkan
kemaksiatan-kemaksiatan yang saya lakukan dulu, dan kembali ke jalan Tuhan yang
lebih terang.
Dari cahaya saya jatuh ke dalam
kegelapan, begitu lama, namun saya ditakdirkan bisa bangkit dan berjalan menuju
cahaya yang lebih terang. Saya benar-benar percaya bahwa Tuhan telah menyapa
saya dengan kesadan dan cahaya-cahaya dari wajah mereka.
Terimakasih Tuhan, ternyata
selama ini Engkau selalu mengabulkan apa yang saya inginkan. Ternyata apa yang saya rasakan,
semuanya adalah kedipan Tuhan kepada saya. Dan baru saja saya menyadarinya.
Maka siapapun Anda, percayalah,
bahwa Tuhan selalu memberikan jalan dari setiap permasalahan serta cahaya dari
setiap kegelapan. Namun semua itu bisa kita dapatkan dengan kesungguhan dan
do’a. Karena Tuhan selalu mengabulkan do’a para hambaNYA..
“berdo’alah kepadaKu niscaya
Aku akan mengabulkannya” (Qs. Al-Mukminun [40:60])
0 komentar:
Post a Comment