Breaking News
Loading...
Tuesday, April 19, 2016

Kesadaran dan Cahaya-Cahaya dari Tuhan

9:18 AM



Dijadikan indah pada (pandangan) manusia cinta kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Alloh-lah sebaik-baik tempat kembali (surga)”. (Qs. Ali Imron [3:14]).
Alloh swt. menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Dengan itu pula manusia mempunyai rasa cinta sebagai fitrahnya, dan dengan cinta itu manusia dapat memandang sesuatu menjadi indah (nikmat). Keindahan-keindahan yang menimbulkan ketertarikan nafsu untuk memilikinya.
Namun Alloh juga telah membuatnya jelas, dari yang indah itu ada kalanya menimbulkan kebaikan namun tak jarang pula menimbulkan keburukan. Namun jika nafsu telah menguasainya yang kelihatan hanyalah yang baik dan eloknya saja serta lupa akan buruk atau susahnya.
Padahal semua yang kita miliki dan kita nikmati hanyalah perhiasan kehidupan di dunia. Semua akan habis jika pada waktunya, sedang bekal untuk di akhirat kita tidak sedia. Padahal di belakang hidup ini ada lagi hidup yang akan kita hadapi, dan Tuhan akan lebih tegas lagi.
Semuanya hanyalah ujian, untuk memastikan siapa yang benar-benar berhak mendapatkan kenikmatan yang kekal serta pertemuan dengan Tuhan. Namun begitulah Tuhan menakdirkan. Manusia lahir dengan takdir yang berbeda-beda, ada kalanya dia berada dalam terang cahaya dan selamanya tetap pada cahaya hingga ajal menjemputnya. Ada pula yang lahir dalam kegelapan, lalu menemukan cahaya setelah perjalanan panjang. Ada pula yang lahir dalam kegelapan dan hidup semakin dalam kegelapan karena menyekat diri dari cahaya bahkan perlahan-lahan menjauhinya. Namun adapula yang ditakdirkan lahir ditengah cahaya, lalu jatuh dalam kegelapan, namun bangkit kembali dan menemukan cahaya yang lebih terang dari sebelumnya. Seperti halnya kisahnya. Muhammad Hasyim Rowi. Dia bercerita:
Apa yang saya inginkan dikabulkan Tuhan
Saya lahir dari keluarga yang biasa-biasa, bukan keluarga yang kental dengan agama. Namun kedua orang tua saya sangat mengidolakan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi islam Nahdlotul Ulama’ (NU). Dari itu, saya diberinama Hasyim, dengan harapan saya dapat menjadi seperti K.H Hasyim Asy’ari.
Maka ketika lulus dari Sekolah Dasar (SD) saya dipondokkan oleh kedua orang tua saya. Tiga tahun pertama saya habiskan di salah satu pesantren di kota Gresik. Namun kedua orang tua saya belum puas dengan apa yang saya dapatkan dari mondok di Gresik. Tidak ada perubahan yang mencolok dari kehidupan saya yang di rumah. Banyaknya santri membuat keseharian di pesantren kurang diperhatikan. Terlalu bebas, jarang belajar dan saya merasa masih seperti sebelumnya.
Akhirnya saya dipindahkan oleh kedua orang tua saya di salah satu pesantren di kota Kediri. Kehidupan di pesantren Kediri berbeda jauh dari yang saya alami di Gresik. Setiap hari dipenuhi dengan hafalan, muthola’ah dan berbagai kegiatan tambahan. Bahkan untuk menentukan kenaikan kelas, para santri diwajibkan menghafal beberapa bait alfiah sesuai tingakatanya. Sedang saya sangat lemah dalam hal hafalan, hasilnya selama dua tahun di sana, saya tak juga naik kelas. Dari hal yang sepele itu, saya menjadi malu, malu dengan diri sendiri dan teman-teman yang lainnya. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari pesantren. Saya pulang tanpa izin, tanpa memberi tahu orang tua ataupun pengasuh pesantren. Yang ada di dalam fikiran saya hanyalah saya ingin pulang dan tidak ingin kembali.
Di tengah perjalanan pulang itu, di dalam Bus terbesit dalam hati saya. Sesampainya  di rumah, saya ingin bebas, bebas melakukan apa saja dan ingin sekali melakukan maksiat. Dan benar, sesampainya di rumah saya mendapatkan teman-teman yang benar-benar membawa saya ke dalam kemaksiatan. Orang tua saya tidak memaksa saya untuk kembali ke pesantren, dan juga tidak berani memarahi saya meskipun saya berteman dengan orang-orang yang membawa saya kedalam lembah kemaksiatan.
Mulai waktu itu semuanya benar-benar menjadi, saya jarang pulang, melakukan apa saja yang saya suka, juga melakukan segala kemaksiata. Terlebih sejak ayah saya meninggal. Kehidupan saya semakin tidak karuan, bahkan tak ada satu orangpun dari keluarga saya yang berani menasehati saya.
Apa yang saya inginkan, apa yang terbesit dalam hati saya ketika di dalam Bus seakan-akan dikabulkan oleh Tuhan. Semua yang saya inginkan benar-benar dapat saya lakukan. Tak tanggung-tanggung 12 tahun kehidupan saya sebegitu rusaknya.
Tak sedikitpun saya ingin berhenti, tak sedikitpun saya menyesali atas apa yang saya lakukan, meskipun waktu itu saya sudah mempunyai istri dan juga anak. Kehidupan yang begitu gelap masih belum bisa saya tinggalkan. Setiap hari saya selalu pulang larut malam, dan setiap saya pulang, pasti saya dalam kondisi mabuk. Dan parahnya ketika sudah seperti itu saya sering melakukan hal-hal yang di luar kesadaran saya.
Banyak hal-hal bodoh yang saya lakukan. Tangan dan kaki saya serasa bergerak sendiri, dalam kondisi seperti itu tak jarang saya melakukan kekerasan, hingga semuanya membiarkan saya, tidak pernah memarahi saya ataupun menegur saya. Sering juga saya mendobrak pintu, membanting barang-barang, melemparkan meja dan kursi, bahkan pernah memukul kulkas dengan benda tajam hingga lubang. Semua itu benar-benar di luar kendali saya, dan ketika saya sadar, saya tidak pernah merasa menyesal atau bersalah atas apa yang saya lakukan.
Hingga puncaknya tiba, seperti biasa, malam itu saya pulang dalam kondisi mabuk. Dalam kondisi yang tak sadar itu saya “kesasar” tidur di kamar ibu saya. Pada waktu itulah ibu saya melangkahi saya sampai beberapa kali, terlalu banyak. Dengan harapan saya bisa kembali menjadi seperti dulu, anak yang bisa menegakkan agama.
Sejak waktu itu serasa ada perubahan dalam diri saya, terasa sangat berat ketika hendak melakukan maksiat. Bahkan mulai terbesit rasa ingin taubat dan kembali kejalan yang benar yang diridloi oleh Alloh. Peperangan batin terjadi, tiba-tiba rasa ingin untuk berhenti melakukan maksiat itu semakin kuat, namun saya selalu saja tidak bisa menolak ketika ada teman yang menelfon saya dan mengajak saya untuk melakukannya.
Lidah saya kelu, sulit sekali untuk berkata “tidak”, selalu saja saya menjawab dengan “iya”. Namun setelah melakukan segala kemaksiatan itu saya selalu menyesal, saya menangis, bahkan sering saya berbicara sendiri, mengadu kepada Tuhan bahwa sebenarnya saya ingin berhenti, namun tak kunjung bisa.
Rasanya masih saja ada tali yang mengikat saya, membawa saya kembali kepada kegelapan, dan saya benar-benar tidak bisa menolak. Bahkan sering sekali ketika dalam kondisi mabuk itu saya melihat bintang, terdiam sejenak, lalu menangis, menangisi terhadap apa yang telah saya lakukan, kepada diri saya, kepada anak saya, istri saya dan juga ibu saya.
Hingga suatu hari terbesit dalam hati, apakah saya benar-benar bisa kembali ke jalan yang benar, apakah saya benar-benar bisa menjadi orang yang bisa meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan yang telah saya lakukan selama ini. Waktu itu juga tiba-tiba saya teringat teman-teman di pesantren, dan berharap Tuhan memertemukan saya dengan orang-orang yang seperti mereka. Namun dalam hati saya berkata, apakah di kota ini ada orang-orang yang seperti itu, apakah di kota ini ada pesantren yang benar-benar dapat mengubah hidup saya kembali seperti semula. Saya hanya bisa menangis, air mata itu tak bisa berhenti, dan penyesalan itu semakin menusuk hati.
Akhirnya salah satu cara agar saya tidak lagi melakukan kemaksiatan-kemaksiatan itu, saya membuang kartu seluler saya. Saya tinggalkan handphone saya. Saya hanya diam di rumah, saya tidak pernah keluar hingga 2 bulan. Tepat pada waktu itu tiba-tiba saya terbayang-bayang wajah teman lama saya, selama empat hari berturut-turut.
Ada rasa tidak enak di dalam hati saya, saya khawatir, mungkin sedang terjadi apa-apa. Saya ingin menanyai kondisinya, mungkin saja sakit, atau apa, namun nomor handphonya hilang bersama kartu yang saya buang. Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke rumahnya memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya saya dirumahnya, saya bertanya kondisinya dan menceritakan apa yang telah saya alami selama 4 hari ini. Dia menjawab tidak ada apa-apa, tidak sakit, dan tidak ada masalah. Namun saya merasa ada yang beda, sikapnya beda dari biasanya, prilaku dan tutur katanya lebih sopan dan halus. Saya mulai bertanya-tanya, dan menanyainya mengenai prilaku dan tutur katanya. Dia menjawab bahwa akhir-akhir ini dia ikut ngaji di sebuah pesantren.
Sayapun terperanjat kaget. Tiba-tiba saya ingat bahwa beberapa hari yang lalu saya  meminta kepada Tuhan untuk dipertemukan kepada orang yang dapat membawa saya kembali ke jalan yang benar, membawa saya ke dalam kehidupan pesantren. Mungkin ini adalah jawaban Tuhan bagi saya. Saya pun menanyakan alamat  pesantren tempat dia mengaji.
Setelah mendapatkan alamatnya sayapun pulang. Namun saya tidak langsung datang ke pesantren tersebut. Ada rasa ragu, bimbang, khawatir, takut, dan macam-macam hal yang membuat saya tidak datang ke pesantren tersebut. Baru setelah dua hari, dengan rasa berat, saya mulai melangkahkan kaki dan pergi untuk mencari pesantren tersebut.
Waktu itu hari kamis, tepat setelah sholat subuh saya berangkt mencari alamat pesantren tersebut. Setelah lama, akhirnya saya menemukanya, tepat jam enam kurang seperempat. Saya mengucapkan salam lalu masuk ke dalam pesantren. Saya terkejut, saya kaget, ada 11 santri yang sedang mengaji di pagi itu dan wajah mereka bercahaya. Berapa kali saya mengusap mata saya memastikan bahwa apa yang saya lihat adalah nyata. Dan benar, yang saya lihat dengan mata kepala saya adalah nyata. Mereka bercahaya, sedang tubuh saya gelap, di sekeliling saya hitam. Saya pun terdiam, hati saya menangis, mungkin inilah yang sebenarnya.
Saya semakin sadar, Tuhan lagi-lagi mengabulkan do`a saya, Tuhan kembali menemukan saya dengan orang-orang yang saya inginkan. Tuhan memberi saya kesadaran serta cahaya-cahaya terang yang nyata yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Saya merasa senang, saya merasa hidup saya kembali, dan sejak itu, saya benar-benar meningalkan kemaksiatan-kemaksiatan yang saya lakukan dulu, dan kembali ke jalan Tuhan yang lebih terang.
Dari cahaya saya jatuh ke dalam kegelapan, begitu lama, namun saya ditakdirkan bisa bangkit dan berjalan menuju cahaya yang lebih terang. Saya benar-benar percaya bahwa Tuhan telah menyapa saya dengan kesadan dan cahaya-cahaya dari wajah mereka.
Terimakasih Tuhan, ternyata selama ini Engkau selalu mengabulkan apa yang saya  inginkan. Ternyata apa yang saya rasakan, semuanya adalah kedipan Tuhan kepada saya. Dan baru saja saya menyadarinya.
Maka siapapun Anda, percayalah, bahwa Tuhan selalu memberikan jalan dari setiap permasalahan serta cahaya dari setiap kegelapan. Namun semua itu bisa kita dapatkan dengan kesungguhan dan do’a. Karena Tuhan selalu mengabulkan do’a para hambaNYA..
berdo’alah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya” (Qs. Al-Mukminun [40:60])

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer